Hari raya Idul Fitri merupakan saat yang ditunggu-tunggu bagi umat muslim di seluruh dunia, setelah sebulan berpuasa di bulan Ramadhan Idul Fitri adalah hari kemenangan. Ditilik dari sisi ekonomi bulan Ramadhan di Indonesia merupakan fenomena yang sangat menarik. Walaupun umat muslim berpuasa namun pengeluaran belanja justru umumnya meningkat. Bagi emiten yang bergerak di sektor ritel, itu merupakan hari raya yang mendatangkan berkah besar. Maklum, pakaian, kue kering, dan sirup mendadak menjadi kebutuhan nomor satu buat sebagian besar penduduk Indonesia. Kebiasaan itulah yang dinanti-nanti sejumlah pemilik pusat belanja modern. Peningkatan pengeluaran ini berasal dari naiknya permintaan atas beberapa bahan pangan, belanja sandang dan juga kegiatan mudik. Beberapa hal ini akan meningkatkan inflasi pada bulan tersebut. Perkembangan zaman terkini juga membuat tren pemanfaatan THR (Tunjangan Hari Raya) berubah. Bila dulu THR lebih dihabiskan untuk sandang dan pangan maka dalam 2 tahun terakhir THR justru lebih banyak dipergunakan untuk belanja gadget dan biaya traveling.
Bagi pelaku pasar modal terutama saham, fenomena ini tentu saja dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan keuntungan. Maraknya belanja masyarakat membuat saham-saham sektor konsumsi menjanjikan kenaikan penjualan, begitu juga dengan kegiatan mudik yang meningkatkan pendapatan perusahaan yang bergerak di bidang otomotif, jasa transportasi dan juga pengelola jalan tol. Lalu apakah berarti bulan puasa adalah saat yang tepat untuk masuk saham?
Tentu saja pertimbangan untuk berinvestasi di instrumen saham harus dari berbagai sisi, namun bila belajar dari sejarah investor dapat memanfaatkan kinerja bursa saham saat bulan puasa. Dari pengamatan selama 10 tahun terakhir dari tahun 2006 – 2016 pada sektor-sektor yang ada di Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) datanya sebagai berikut

Dari hasil statistik diatas maka dapat dilihat bahwa terdapat 3 sektor yang umumnya meningkat pada bulan puasa yaitu Infrastruktur dengan rata-rata return 3.09% dan probabilitas naik hingga 80% ( 8 dari 10 bulan puasa terakhir) disusul oleh sektor konsumsi dengan rata-rata return 2.65% dan keuangan dengan rata-rata return 2.35%, masing-masing dengan probabilitas naik 70%. Sedangkan sektor yang sebaiknya dihindari pada bulan puasa berdasarkan data diatas adalah properti, pertambangan dan pertanian.
Adapun saham penggerak dari sektor infrastruktur sendiri terdiri dari subsektor telekomunikasi seperti TLKM, subsektor utilitas seperti PGAS dan subsektor transportasi seperti JSMR. Sektor konsumsi diisi oleh emiten seperti UNVR, INDF, ICBP, KLBF dan dan keuangan dihuni oleh emiten perbankan besar seperi BBCA, BMRI, BBRI dan BBRI. Sektor-sektor diatas memang diuntungkan dengan peningkatan penjualan saat musim lebaran. Sementara sektor properti dan komoditas justru bertambah pengeluarannya salah satunya untuk menutup pos THR (Tunjangan Hari raya) mengingat industri ini umumnya padat karya. Dari statistik singkat diatas dapat dipahami investor umumnya memburu sektor yang mendapatkan keuntungan lebih di bulan puasa dan menghindari sektor yang terbebani.
Liburan lebaran juga memiliki fenomena tersendiri, Dari pengamatan selama 10 tahun terakhir dari tahun 2006 – 2016 pada Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bila investor berinvestasi 1 minggu sebelum lebaran dan menjual sebelum liburan lebaran maka sektor konsumsi menjadi yang paling menarik dengan saham-saham seperti KLBF dan GGRM, disusul oleh sektor aneka industri seperti saham ASII dan sektor industri dasar terutama semen dengan SMGR dan INTP. Saham-saham diatas memiliki probabilitas kenaikan diatas 80% untuk periode 1 minggu sebelum lebaran.

Tentu saja pertimbangan untuk berinvestasi di instrumen saham harus dari berbagai sisi, namun bila belajar dari sejarah investor dapat memanfaatkan kinerja bursa saham saat liburan lebaran. Seperti kita ketahui di Indonesia lebaran dirayakan dengan libur selama minimal 1 minggu, hal ini menyebabkan pelaku pasar umumnya akan mengantisipasi libur ini dengan melakukan cash out atau menjual dulu sahamnya dan memegang uang tunai.Tindakan ini dapat menyebabkan bursa mengalami koreksi atau penurunan secara temporal. Koreksi itu bisa saja terjadi karena dipicu oleh faktor regional dan persiapan sebagian investor jelang Lebaran dengan melakukan aksi jual sehingga merasa aman untuk menjalankan mudiknya. Investor yang jeli dapat memanfaatkan peluang ini untuk meraup keuntungan.
Hal yang menarik lainnya adalah liburan lebaran itu sendiri, dari data 10 tahun terakhir terdapat 7 tahun data (70%) dimana IHSG setelah lebaran lebih tinggi dibanding penutupan sebelum liburan lebaran dengan rata-rata -0.5%, namun bila kerugian di tahun 2008 sebesar -10% tidak dihitung maka rata-ratanya mencapai 1.12%. Setelah di telaah lebih lanjut pergerakan IHSG saat liburan lebaran berkorelasi kuat dengan pergerakan indeks diluar negeri terutama Dow Jones Indutrial Average (DJIA) yang mencapai 0.8. Artinya bila saat bursa Indonesia sedang libur dan DJIA bergerak positif maka 80% kemungkinan bursa kita akan dibuka menguat.
Bagaimana dengan 1 minggu setelah lebaran? Dari data 10 tahun terakhir lagi-lagi menunjukkan 70% dari data yang ada IHSG mengalami penguatan dengan rata-rata return sebesar -0.7%, namun bila penurunan sebesar -20% di tahun 2008 tidak diikutkan dalam perhitungan maka rata-rata returnnya adalah 1.5%.Dari hasil statistik diatas maka disarankan untuk investor masuk ke bursa 1 minggu sebelum lebaran dan keluar 1 minggu setelahnya karena selama 10 tahun terakhir hanya rugi 2 kali saja.
Tentu saja hasil penelitian singkat ini berdasarkan pada data historis dan tidak ada jaminan bahwa return tersebut akan berulang. Investor pasar modal terutama saham sebaiknya memiliki horizon investasi jangka panjang. Sebelum Investor berinvestasi tetap harus memperhatikan kondisi makro ekonomi, risiko –risikko yang mungkin terjadi dan juga kebutuhan likuiditas yang ada. Namun bila memang memiliki uang lebih sisa THR dan mampu menanggung risiko yang mungkin terjadi tidak ada salahnya untuk memanfaatkan peluang yang ada.
Happy Investing!