Industri reksadana yang terus berkembang melahirkan beberapa jenis reksadana bagi masyarakat indonesia, salah satunya reksadana terproteksi. Sekilas reksadana ini mirip dengan reksadana pendapatan tetap, Sama-sama berbasis obligasi, sama-sama ditujukan untuk investor konservatif dengan jangka waktu investasi di bawah 3 tahun, sama-sama memiliki nilai minimum investasi yang lebih tinggi dibandingkan reksadana saham dan campuran. Jadi apa perbedaannya?

Baik reksadana pendapatan tetap ataupun reksadana terproteksi merupakan jenis reksadana yang ditujukan bagi investor yang memiliki profil risiko konservatif. Alasannya kedua jenis obligasi ini memiliki kebijakan untuk berinvestasi pada instrumen obligasi / surat hutang minimum 80%. Dibandingkan saham, instrumen obligasi memiliki risiko yang lebih kecil.

Instrumen obligasi sendiri merupakan surat pengakuan hutang. Artinya investor, reksadana atau siapapun yang memegang obligasi, memiliki hak untuk menagih pembayaran bunga (kupon) dan pokok kepada pihak yang berhutang (emiten) sesuai dengan periode jatuh temponya. Karena memiliki kepastian pembayaran harga obligasi lebih tidak fluktuatif dibandingkan dengan instrumen saham.

Tentu saja, karena merupakan hutang, ada kemungkinan si emiten tidak menunaikan kewajibannya. Hal tersebut bisa disebabkan karena perusahaan mengalami kesulitan keuangan ataupun karena pemiliknya mangkir.Risiko tersebut dikenal sebagai risiko gagal bayar dan merupakan risiko utama dalam reksadana yang berbasis instrumen obligasi.

Baik reksadana pendapatan tetap dan reksadana terproteksi tidak dapat lolos dari risiko di atas. Hal ini penting karena investor terkadang salah persepsi dalam mengartikan kata “terproteksi”. Kata tersebut menimbulkan kesan seolah-olah reksadana telah diasuransikan (diproteksi) sehingga beranggapan reksadana terproteksi lebih aman dibandingkan reksadana pendapatan tetap. Padahal kata terproteksi disini mengacu pada modal awal investor diproteksi untuk kembali dengan syarat investor tidak melakukan penarikan modal pokok hingga jatuh tempo reksadana dan tidak ada isi portfolio reksadana tersebut yang mengalami gagal bayar. Dengan kata lain tidak ada jaminan bahwa modal investor pasti kembali. Reksadana dengan penjaminan sendiri sebenarnya sudah ada aturanya, namun hingga saat ini belum ada yang terbit di Indonesia karena mahalnya biaya asuransi yang harus ditanggung oleh pemegang unit reksadana.

Saat ini reksadana terproteksi hingga Januari 2019 memiliki dana kelolaan sebesar Rp 133 Triliun dan reksadana penapatan tetap sebesar Rp 106 Triliun, sehingga bisa ditarik kesimpulan reksadana terproteksi masih lebih populer. Dalam pengelolaanya terdapat beberapa perbedaan yang signifikan antara reksadana pendapatan tetap dan reksadana terproteksi sebagai berikut:
1. Fleksibilitas Pengelolaan Reksadana
Dalam mengelola reksadana pendapatan tetap, Manajer Investasi melakukan jual beli instrumen-instrumen obligasi sementara pada reksadana terproteksi, instrumen obligasi yang ada akan dipegang hingga jatuh tempo. Dengan memegang obligasi hingga jatuh tempo, maka investor hampir pasti memperoleh kupon dan pokok obligasi pada saat jatuh tempo, karena itu kata “terproteksi” muncul karena modal investor akan kembali seutuhnya. Reksadana terproteksi juga dikenal sebagai capital protected fund. Sementara karena reksadana pendapatan tetap memiliki obligasi yang jatuh temponya bisa berbeda-beda, maka tidak dapat dipastikan pada suatu waktu tertentu modal investor akan kembali.

2. Periode Subcription dan Redemption (pembelian dan penjualan)
Jika reksadana pendapatan tetap dapat dibeli (subcribtion) atau dijual (redemption) kapan saja, untuk membeli reksadana terproteksi ada masa penawaran yang harus diikuti oleh investor. Untuk penjualan (redemption), ada reksadana terproteksi yang memperbolehkan penjualan dilakukan saat tanggal pembagian dividen, ada pula yang mewajibkan investor untuk memegang hingga jatuh tempo.
3. Biaya reksadana
Biasanya untuk reksadana pendapatan tetap untuk pembelian dikenakan biaya subcription dan untuk penjualan dikenakan biaya redemption apabila dicairkan kurang dari 1 tahun. Sementara, untuk reksadana terproteksi umumnya hanya ada biaya redemption, itupun jika investor memaksa untuk mencairkan sebelum jatuh temponya. Untuk biaya management fee, reksadana pendapatan tetap akan lebih tinggi dibandingkan reksadana terproteksi karena pengelolaannya dilakukan dengan lebih aktif.
4. Pembagian dividen dan Indikasi imbal hasil
Hasil investasi yang dibagikan kepada investor reksadana dikenal dengan istilah dividen. Jenis reksadana pendapatan tetap biasanya tidak membagikan dividen tersebut dan digunakan untuk reinvestasi kembali. Sementara untuk reksadana terproteksi dividen tersebut biasanya dibagikan. Karena praktek tersebut, seolah-olah reksadana terproteksi memiliki bunga yang tetap. Angka tersebut biasanya dinyatakan dalam kisaran persentase tertentu seperti 8% - 9% Net setelah pajak yang disebut dengan indikasi imbal hasil. Hal ini tidak terdapat pada reksadana pendapatan tetap.

Jika diibaratkan dalam manajemen investasi, reksadana pendapatan tetap adalah pengelolaan portofolio obligasi Active Management sementara reksadana terproteksi adalah pengelolaan portofolio dengan Passive Management. Dengan pengelolaan portofolio yang lebih aktif, jenis reksadana pendapatan tetap secara logika seharusnya memberikan tingkat return yang lebih baik dibandingkan reksadana terproteksi. Namun di satu sisi, reksadana terproteksi lebih unggul dalam hal adanya kupon dan jatuh tempo. Karakteristik ini amat menyerupai deposito sehingga lebih mudah dipahami oleh investor dibandingkan jenis reksadana pendapatan tetap. Namun demikian reksadana terproteksi lebih sulit untuk didapatkan karena umumnya manajer investasi akan bekerja sama dengan bank sebagai agen penjual untuk memasarkan produk ini.Umumnya pihak bank lebih mengutamakan nasabah prioritasnya disaat menawarkan produk ini dibanding masyarakat umum. Adapun tantangan dari industri reksadana berbasis obligasi adalah naiknya pajak atas kupon dan diskonto obligasi untuk reksadana dari 5% menjadi 10% pada tahun 2021, sehingga imbal hasil untuk reksadana berbasis obligasi bisa jadi akan mengalami penurunan.

Nah, setelah memahami hal di atas, anda bisa memilih jenis reksadana berbasis obligasi yang sesuai dengan kebutuhan anda. Selamat berinvestasi.

Happy Investing!