Pasar saham di Indonesia sedang cenderung lesu di kuartal pertama, terlihat dari kenaikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang pernah mencapai 7% pada bulan Januari dan terus menurun hingga akhir April hanya positif 0.28% atau kembali ke awal. Lesunya kinerja di 2021 ini karena pertumbuhan ekonomi yang memang masih terkontraksi dan juga kekhawatiran atas gelombang pandemi yang kembali memanas terutama di India. Meski demikian potensi kenaikan saham tetap ada, diantaranya banyak ekonom yakin pertumbuhan ekonomi di kuartal kedua akan positif.
Kondisi ketidapastian pada pasar modal adalah wajar, walau berbeda pokok permasalahan namun siklus bullish dan bearish selalu datang silih berganti. Untuk memitigasi hal tersebut umumnya investor saham disarankan untuk melakukan strategi buy & hold yaitu membeli saham dan terus memegangnya dalam jangka panjang. Strategi ini memang terbukti efektif bagi investor pada umumnya. Selama investor membeli saham yang kinerja emitennya baik dan menghasilkan keuntungan maka nilai sahamnya memang selalu naik. Namun demikian apakah buy & hold menjadi strategi yang paling menguntungkan dalam berinvestasi saham? Bagaimana bila dibanding dengan strategi trading? Mana yang lebih menguntungkan?
Di pasar modal luar negeri terutama Amerika Serikat (AS) sering didengar pepatah yang berbunyi Sell In May & Go Away. Dasar pemikiran dari pepatah ini adalah penelitian di AS yang menyimpulkan bahwa dibanding melakukan buy & hold investor lebih baik berinvestasi pada bulan-bulan baik dimana umumnya bursa mengalami rally yaitu November- April dan memindahkan dana ke instrumen yang lebih aman seperti deposito atau obligasi jangka pendek pada bulan-bulan yang kurang baik bagi pergerakan bursa pada bulan Mei – Oktober. Investor yang melakukan hal ini akan mendapatkan kinerja yang jauh lebih tinggi dibanding memegang saham sepanjang waktu.
Apakah strategi diatas dapat di implementasikan di Indonesia? Bagaimana strategi tadi bila dijalankan di tahun pandemi? Rata-rata return bulanan IHSG selama 10 tahun kebelakang menunjukkan bulan dengan rata-rata return tertinggi adalah bulan April (5.9%) dan bulan dengan rata-rata return terburuk adalah pada bulan Agustus ( -2.36%). Tingginya rata-rata return di bulan April dapat dikaitkan dengan musim panen yang berimbas positif pada inflasi, maraknya rilis laporan keuangan tahunan dan juga pengumuman pembagian dividen pada bulan tersebut yang memicu kenaikan harga saham. Sementara pada bulan Agustus inflasi cenderung meningkat seiring musim tahun ajaran baru anak sekolah. Dengan demikian tentu menarik bila kita menelaah secara historis bagaimana bila menjual setelah bulan terbaik (pada Mei) dan membeli setelah bulan terburuk lewat (pada September). Hasil penjualan saham pada bulan Mei akan ditempatkan pada reksadana pasar uang yang diwakili oleh Indeks Reksadana Pasar Uang (IRDPU). IRDPU sendiri merupakan satu-satunya indeks reksadana yang tidak pernah merugi. Kinerja reksadana pasar uang Simulasi dari strategi diatas sejak tahun 2012 dapat dilihat pada tabel berikut