Salah satu risiko yang pasti dihadapi dan dirasakan secara nyata oleh investor reksadana adalah risiko perubahan harga. Risiko ini dapat dengan mudah dilihat melalui publikasi harga NAB/UP setiap hari melalui media massa.

Perubahan harga yang dimaksud di sini adalah kenaikan atau penurunan harga Nilai Aktiva Bersih per Unit reksadana. Perubahan harga ini dapat disebabkan karena perubahan kondisi bursa saham secara umum (IHSG) atau disebut dengan risiko sistematis, ada pula yang disebabkan karena faktor-faktor diluar pengaruh bursa saham (non sistematis) seperti keahlian Manajer Investasi dalam menyusun portofolio reksadana dan menebak saham-saham mana yang akan naik dan turun (Market Timing).

Gabungan antara risiko sistematis dan risiko non sistematis ini disebut dengan total risiko. Sama halnya seperti risiko sistematis yang dapat diukur dengan menggunakan indikator beta, risiko total juga dapat diukur dengan menggunakan indikator standar deviasi. Risiko total inilah yang menjadi alat ukur utama dalam mengukur risiko perubahan harga pada reksadana. Semakin besar risiko total, maka semakin besar pula risiko naik turunnya harga NAB reksadana yang akan dialami oleh investor.

Jadi, ketika anda ingin mengatakan suatu reksadana lebih berisiko dibandingkan reksadana yang lain, maka hal yang dilihat adalah persentase kenaikan atau penurunan harga reksadana tersebut dan bukan satuan absolut perubahan harganya.

Berdasarkan perbandingan total risiko tersebut, gaya pengelolaan Manajer Investasi juga dapat dikategorikan menjadi 3 kelompok yaitu:

  1. Agressive Fund : Reksadana Saham dengan gaya pengelolaan investasi yang agresif karena memiliki risiko penurunan harga yang lebih besar dibandingkan dengan IHSG
  2. Index Fund : Reksadana Saham dengan gaya pengelolaan investasi yang moderat atau cenderung mengikut index sehingga risiko penurunan harganya hampir sama dengan IHSG
  3. Defensive Fund : Reksadana saham dengan gaya pengelolaan investasi yang defensif atau berlawanan dengan arah pergerakan investasi pada umumnya sehingga menghasilkan risiko penurunan harga yang lebih kecil dibandingkan dengan total risiko IHSG.

Ketiga jenis reksadana saham di atas memiliki keunggulan dan kelemahan tersendiri. Biasanya dalam kondisi pasar saham sedang naik tinggi (bullish), jenis reksadana yang memiliki peluang untuk memberikan tingkat return paling baik adalah jenis Agressive fund. Sementara pada saat kondisi pasar saham sedang bergerak datar tidak menentu (flat), maka Index Fund berpotensi memberikan kinerja yang paling baik. Sementara pada saat pasar saham sedang bergerak menurun (bearish), umumnya Defensive Fund yang menunjukkan performa yang lebih baik.

Dalam mengkategorikan gaya pengelolaan investasi reksadana salah satunya menggunakan rasio perbandingan antara risiko reksadana saham dengan risiko IHSG. Apabila nilai rasio tersebut dibawah 1, maka reksadana saham diklasifikasikan sebagai Defensive Fund, apabila nilai rasio perbandingan berada di antara 1 hingga 1.1, maka reksadana saham diklasifikasikan sebagai Index Fund. Apabila nilai rasio di atas 1.1, maka reksadana tersebut diklasifikasikan sebagai Agressive Fund. Hasil perhitungan dengan menggunakan data selama 7 tahun terakhir adalah sebagai berikut:

Harap diingat gaya pengelolaan manajer investasi dapat berubah. Suatu reksadana yang masuk dalam kategori Index atau Agressive fund dapat berubah menjadi defensif di kala kondisi market sedang bearish dan sebaliknya reksadana yang karakternya defensif atau index dapat berubah menjadi agresif jika kondisi bursa sedang bullish. Selain itu, terkadang jenis reksadana yang masuk dalam kategori defensif atau index dapat memberikan tingkat return yang lebih tinggi dibandingkan jenis aggresive fund. Oleh karena itu, selain risiko, return juga merupakan pertimbangan yang harus diperhatikan oleh investor reksadana.

Sebagai investor yang memiliki tujuan keuangan, pemilihan reksadana saham harus lebih proaktif mengingat instrumen ini merupakan “kendaraan” untuk mencapai keberhasilan. Happy Investing