Industri reksadana yang terus berkembang melahirkan beberapa jenis reksa dana salah satunya reksadana terproteksi yang kini sedang menjadi sorotan terkait beberapa kasus gagal bayar isi portfolionya. Sekilas reksadana ini mirip dengan reksa dana pendapatan tetap, Sama-sama berbasis obligasi, sama-sama ditujukan untuk investor konservatif dengan jangka waktu investasi 3 – 5 tahun, Jadi apa perbedaannya?

Baik reksadana pendapatan tetap ataupun reksadana terproteksi merupakan jenis reksadana yang ditujukan bagi investor yang memiliki profil risiko konservatif. Alasannya kedua jenis obligasi ini memiliki kebijakan untuk berinvestasi pada instrumen obligasi / surat hutang seperti MTN ( Medium Term Notes) minimum 80%. Instrumen obligasi sendiri merupakan surat pengakuan hutang. Artinya investor, reksadana atau siapapun yang memegang obligasi, memiliki hak untuk menagih pembayaran bunga (kupon) dan pokok kepada pihak yang berhutang (emiten) sesuai dengan periode jatuh temponya. Seiring dengan perkembangan industri sejak tahun 2020 OJK melarang reksadana berinvestasi pada surat hutang yang tidak melalui penawaran umum, artinya MTN tidak lagi boleh dibeli oleh reksadana terproteksi karena risiko yang lebih tinggi.

Tentu saja, karena merupakan hutang, ada kemungkinan emiten tidak menunaikan kewajibannya. Hal tersebut bisa disebabkan karena perusahaan mengalami kesulitan keuangan ataupun karena pemiliknya mangkir. Risiko tersebut dikenal sebagai risiko gagal bayar dan merupakan risiko utama dalam reksadana yang berbasis instrumen hutang. Hal ini dapat dimitigasi bila isi potfolionya adalah SUN ( Surat Hutang Negara) dimana risiko gagal bayarnya sangat kecil. Namun dengan konsekuensi imbal hasil SUN akan lebih kecil dibandingkan surat hutang korporasi.

Baik reksadana pendapatan tetap dan reksadana terproteksi tidak dapat lolos dari risiko di atas. Hal ini penting karena investor terkadang salah persepsi dalam mengartikan kata “terproteksi”. Kata tersebut menimbulkan kesan seolah-olah reksadana telah diasuransikan (diproteksi) sehingga beranggapan reksadana terproteksi lebih aman dibandingkan reksadana pendapatan tetap. Padahal kata terproteksi disini mengacu pada modal awal investor diproteksi untuk kembali dengan syarat investor tidak melakukan penarikan modal pokok hingga jatuh tempo reksadana dan tidak ada isi portfolio reksadana tersebut yang mengalami gagal bayar. Dengan kata lain tidak ada jaminan bahwa modal investor pasti kembali. Reksadana dengan penjaminan sendiri sebenarnya sudah ada aturanya, namun hingga saat ini belum ada yang terbit di Indonesia karena mahalnya premi asuransi yang harus ditanggung oleh pemegang unit reksadana.

Bisa dibilang reksadana pendapatan tetap adalah pengelolaan portofolio obligasi Active Management sementara reksadana terproteksi adalah pengelolaan portofolio dengan Passive Management. Dengan pengelolaan portofolio yang lebih aktif reksadana pendapatan tetap secara logika seharusnya memberikan tingkat return yang lebih baik dibandingkan reksadana terproteksi. Namun di satu sisi, reksadana terproteksi lebih unggul dalam kepastian imbal hasil.

Terkait imbas risiko gagal bayar reksadana terproteksi dapat lebih tinggi karena isinya boleh berisi hanya 1 surat hutang saja dibanding reksadana konvensional yang memiliki batasan penempatan maksimal 10% dana kelolaan pada satu emiten. Sehingga pada kasus emiten gagal bayar investor reksadana konvensional hanya terimbas maksimal 10% saja dari investasinya, sementara pada reksadana terproteksi dapat seluruhnya.

Reksadana terproteksi sendiri sempat menjadi primadona penggerak industri reksadana karena pemerintah memberikan insentif berupa pajak 0% untuk kupon obligasi dari pajak normal 15%. Dengan demikian merupakan investasi yang sangat menarik bagi investor institusi seperti asuransi dan perbankan, bagi investor retail juga diuntungkan dengan minimum investasi yang relatif rendah dibanding harus membeli obligasi sendiri.

Pun demikian saat ini industri reksadana terproteksi mulai tergerus karena beberapa hal, diantaranya insentif pajak yang terus dikurangi, sejak 2009 pajak obligasi untuk reksadana naik menjadi 5% dan pada tahun 2021 ini menjadi 10%, dengan demikian imbal hasil reksadana terproteksi juga terus menurun, disisi lain penerbitan obligasi sebagai instrumen utama reksadana terproteksi juga turun tajam terkait pandemi, pada tahun 2019 total emisi obligasi mencapai Rp 126.5 triliun dan pada tahun 2020 turun menjadi Rp 77 triliun.

Tantangan reksadana terproteksi bertambah setelah Peraturan Pemerintah no 9 Tahun 2021 tentang perlakuan perpajakan untuk mendukung kemudahan berusaha menurunkan pajak obligasi dari 15% saat ini ke 10% pada bulan Agustus. Bila insentif pajak industri reksadana tidak dirubah tentu daya tarik utama reksadana terproteksi menjadi hilang terutama untuk investor institusi, hal ini membuat banyak investor reksadana terproteksi yang sudah jatuh tempo melakukan wait and see menunggu keputusan pemerintah sebelum kembali berinvestasi.

Diluar masalah perpajakan, mengingat kondisi pandemi COVID-19 membuat risiko gagal bayar emiten meningkat maka ada baiknya investor fokus pada keamanan dibanding pada mengejar kinerja, untuk itu manajer investasi pun diharapkan lebih berhati-hati dalam menerbitkan produk, misalnya dengan melakukan diversifikasi tidak hanya pada satu obligasi saja, bisa dikombinasikan dengan SUN atau obligasi korporasi lainnya dengan industri yang berbeda. Secara teknis memang akan lebih sulit dan imbal hasil bisa saja lebih rendah namun dengan tingkat keamanan yang lebih tinggi.

Happy Investing!