Setelah terus-menerus menorehkan rekor tertinggi serta membukukan kinerja year to date (ytd) yang cukup fantastis sebesar 17,42% di 5 bulan pertama tahun 2013, tampaknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tak mampu meneruskan laju kenaikannya di bulan Juni 2013. Semenjak awal bulan Juni, IHSG tampak mulai kehabisan tenaga. Selama bulan Juni pun, IHSG berkali-kali ditutup di zona merah.

Per 21 Juni 2013, kinerja month to date (mtd) IHSG anjlok hingga 10,92%. Akibatnya, kinerja ytd-nya pun tergerus hanya tersisa 4,60%. Keluarnya dana asing dari bursa saham Indonesia ditenggarai menjadi penyebab salah satu penyebab koreksi yang cukup signifikan tersebut. Semenjak 23 Mei 2013, investor asing terpantau melakukan penjualan bersih (net sell) berturut-turut hingga Juni. Sepanjang Juni saja, dana investor asing yang keluar dari bursa saham sudah mencapai Rp18,77 trilliun.

Selain karena aksi ambil untung (profit taking) memanfaatkan valuasi IHSG yang sudah relatif tinggi terhadap rata-rata Price Earnings Ratio (PER) selama 5 tahun terakhir, diduga maraknya aksi jual investor asing juga diakibatkan oleh kekhawatiran investor pada potensi penurunan likuiditas di negara-negara berkembang (emerging markets) akibat isu rencana pengurangan stimulus moneter oleh bank sentral AS, The Federal Reserve dan rencana bank sentral Jepang (Bank of Japan/BoJ) untuk tidak menambah stimulus moneternya. Sementara itu, sentimen negatif dari dalam negeri yang turut menambah tekanan di bursa saham, yakni kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang berpotensi memicu lonjakan inflasi, tren pelemahan kurs Rupiah terhadap Dollar AS ke level terendah selama 3 tahun terakhir, hingga masalah defisit neraca perdagangan di tengah ketidakpastian prospek pemulihan ekonomi global.

Meskipun ditopang oleh fundamental ekonomi yang cukup solid serta proyeksi kinerja bursa saham yang masih prospektif, tingginya fluktuasi pergerakan bursa, menjadi salah satu hal yang perlu dicermati oleh investor. Nah, sebagai investor reksa dana khususnya reksa dana saham, ada satu cara yang dapat digunakan oleh investor untuk mengantisipasi gejolak yang terjadi di pasar saham tersebut. Cara tersebut yaitu dengan memilih reksa dana yang lebih defensif. Reksa dana defensif yang dimaksud adalah reksa dana yang memiliki nilai beta yang lebih rendah dibandingkan dengan pasar.

Beta sendiri merupakan ukuran yang mendefinisikan volatilitas suatu aset dibandingkan dengan volatilitas benchmark, di mana beta pasar bernilai 1. Reksa dana dengan beta yang relatif defensif dianggap lebih cocok dipilih di tengah pergerakan pasar yang cenderung fluktuatif dengan harapan pada saat terjadi koreksi bursa, penurunan yang dialami reksa dana tersebut tidak sedalam IHSG. Namun, yang perlu dicermati oleh investor adalah akibat kinerjanya yang tidak seagresif IHSG, kinerja reksa dana saham defensif umumnya relatif tertinggal dari reksa dana yang lebih agresif pada saat tren naik.

Lalu, secara historis, bagaimana kinerja reksa dana defensif tersebut? Untuk itu, penulis melakukan penelitian terhadap kinerja reksa dana saham selama periode 2008 hingga 21 Juni 2013. Periode tersebut dipilih dengan alasan dianggap cukup mewakili berbagai kondisi pasar.

Langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut. Pertama, mengumpulkan data reksa dana saham beserta Nilai Aktiva Bersih / Unit Penyertaan (NAB/UP)-nya dari 30 Juni 2007 hingga 21 Juni 2013. Kedua, menghitung return harian dari masing-masing reksa dana . Ketiga, mengelompokkan dan menghitung beta dari reksa dana tersebut per periode 6 bulanan sejak 30 Juni 2007 hingga 28 Desember 2012. Maka, dengan langkah tersebut, terbentuklah 11 kelompok. Reksa dana yang digunakan dalam penelitian adalah reksa dana yang masih aktif hingga akhir periode tiap kelompok pengamatan. Perhitungan beta menggunakan rumus sebagai berikut:


Cov (Ra , Rb)

βa = --------------------

Var(Rb)

Di mana:

βa = Beta reksa dana

Cov (Ra , Rb) =Covariance dari return reksa dana terhadap benchmark (IHSG)

Var(Rb) = Variance dari return benchmark (IHSG)

Keempat, menghitung return reksa dana selama periode 6 bulan berikutnya. Kelima, mengelompokkan reksa dana berdasarkan nilai beta di atas 1 dan di bawah 1 untuk tiap kelompok pengamatan. Terakhir, menghitung nilai rata-rata kinerja masing-masing kelompok reksa dana dan menghitung kinerja IHSG serta standar deviasi dari return harian IHSG.

Dengan tahapan tersebut diperoleh hasil sebagai berikut:

Periode Pengamatan Beta

(Tahun-Semester)

IHSG

Kinerja Rata-rata Reksa Dana

Tahun-Semester

Kinerja

Standar Deviasi

Return / Standar Deviasi

β < 1

β > 1

2007 - II

2008 - I

-14.45%

22.20%

-0.65

-13.02%

-14.99%

2008 - I

2008 - II

-42.30%

32.82%

-1.29

-42.14%

-47.03%

2008 - II

2009 - I

49.53%

20.54%

2.41

60.62%

65.53%

2009 - I

2009 - II

25.04%

14.58%

1.72

19.55%

22.19%

2009 - II

2010 - I

14.97%

16.86%

0.89

10.68%

7.47%

2010 - I

2010 - II

27.11%

11.64%

2.33

22.49%

22.39%

2010 - II

2011 - I

5.00%

11.86%

0.42

1.05%

1.37%

2011 - I

2011 - II

-1.71%

20.53%

-0.08

-2.60%

-2.21%

2011- II

2012 - I

3.50%

11.34%

0.31

2.26%

2.12%

2012 - I

2012 – II

9.13%

7.79%

1.17

9.45%

7.07%

2012 - II

2013 – I

4.60%

11.74%

0.39

7.89%

6.78%

Kinerja rata-rata pada kondisi return < standar deviasi

-5.13%

-6.64%

Kinerja rata-rata pada kondisi return > standar deviasi

28.03%

29.29%

Dari tabel tersebut, terlihat bahwa pada saat bursa fluktuatif yang ditunjukkan oleh nilai standar deviasi yang berada di atas returnnya, kinerja reksa dana defensif lebih unggul. Sementara pada saat bursa bullish dan standar deviasi IHSG tidak setinggi returnnya, kinerja reksa dana yang lebih agresif mampu mencetak kinerja yang lebih unggul. Maka, dapat disimpulkan bahwa reksa dana saham yang defensif dapat menjadi pilihan investasi di kala bursa cenderung volatile. Sementara, pada saat bursa bergerak naik, reksa dana agresif menjadi pilihan yang lebih tepat. Siap berburu reksa dana defensif? Happy Investing!