Tahun 2017 bisa dikatakan tahun yang penuh warna dalam investasi saham. Mulai dari fluktuasi harga minyak, bangkitnya harga komoditas, kenaikan bunga the fed, hingga carut marut krisis geopolitik di semenanjung korea menjadi faktor utama yang menjadikan lonjakan atau penurunan dalam sebulan menjadi pemandangan yang biasa. Reaksi investor saham juga bervariasi, ada yang tetap buy and hold, ada pula yang cutloss sambil melihat situasi. Bagaimana degan perilaku investor reksa dana?

Dibandingkan dengan saham, investasi pada reksa dana saham cenderung lebih mudah ditebak. Sebab secara umum pergerakan IHSG dan reksa dana saham searah, sehingga pada saat IHSG naik, reksa dana saham juga naik. Yang membedakan hanyalah persentase kenaikannya. Sementara itu karena jumlah saham sangat banyak, ada saham yang pergerakannya terkadang berlawanan dengan arah dengan pergerakan IHSG.

Kondisi ini menyebabkan ada sebagian investor menggunakan reksa dana saham sebagai alat untuk mencari keuntungan jangka pendek. Artinya meski reksa dana didesain sebagai instrumen jangka panjang, namun ketika pasar turun investor banyak melakukan investasi dan baru kemudian menjualnya ketika pasar naik meski belum terlalu lama dibeli. Sebagai contoh, mari kita lihat tabel berikut ini:

Tabel di atas menunjukkan performa bulanan IHSG dan hubunganya dengan jumlah total seluruh Unit Penyertaan reksa dana saham. Unit Penyertaan adalah suatu indikator yang menunjukkan berapa banyak unit reksa dana yang telah diterbitkan oleh Manajer Investasi. Berbeda dengan Jumlah Dana Kelolaan, Unit Penyertaan bisa menunjukkan dengan jelas apakah investor melakukan pembelian atau penjualan pada reksa dana. Sebab Unit Penyertaan hanya bertambah ketika investor melakukan pembelian dan baru berkurang ketika investor melakukan penjualan reksa dana. Sementara indikator Jumlah Dana Kelolaan atau yang biasa dikenal dengan nama Asset Under Management bisa bias karena perubahan pada indikator ini juga bisa disebabkan oleh perubahan harga saham dan isi portofolio lain dalam investasinya.

Salah satu fakta yang menarik disini adalah di tahun 2016 terjadi subcription yang cukup signifikan yang di tahun 2017 unit penyertaan reksadana saham justru cenderung negatif ketika IHSG membukukan return yang baik atau diasumsikan melakukan profit taking. Terlihat dari pertumbuhan unit yang terjadi pada bulan Februari, Maret, April dan Mei. Khusus untuk bulan Februari unit penyertaan tumbuh negatif disaat IHSG mengalami koreksi.

Kebalikan dari hal tersebut koreksi IHSG justru direspon dengan aksi profit beli terlihat dari pertumbuhan unit penyertaan pada bulan Juni, Juli dan Agustus disaat return IHSG menipis dan kebanyakan reksadana saham membukukan return negatif unit penyertaan justru bertumbuh atau dapat diasumsikan investor melakukan pembelian

Melihat tren di atas disinyalir terdapat sebagian investor yang menggunakan reksa dana sebagai alat investasi jangka pendek untuk memaksimalkan keuntungannya. Hal ini disebabkan oleh pengalaman investor pada tahun 2016, dimana ternyata IHSG bisa kembali dengan cepat setelah terjadi penurunan yang sangat signifikan karena didukung oleh fundamental perekonomian yang kuat dan berorientasi domestik. Pelajaran ini membuat investor beranggapan ketika terjadi penurunan, merupakan saat yang tepat untuk melakukan pembelian.

Hal lain adalah peran agen penjual yang mampu meyakinkan nasabahnya untuk janga panik bila terjadi koreksi. Namun disisi lain agen penjual juga dapat mempengaruhi penurunan unit penyertaan ketika IHSG sedang melaju dengan meyakinkan nasabahnya untuk profit taking baik melalui redemption ataupun mekanisme switching ke reksadana lain mengingat umumnya agen penjual akan diuntungkan melalui fee yang didapat bila nasabahnya melakukan transaksi.

Pun demikian perilaku investor di atas dapat mengimplikasikan bahwa :
1. Arus dana masuk yang membesar ketika terjadi penurunan yang signifikan pada bursa akan menjadi semacam bantalan sehingga bisa mencegah penurunan lebih lanjut. Karena dana yang masuk selanjutnya akan digunakan oleh Manajer Investasi untuk membeli saham-saham lagi di bursa.
2. Menguatnya peran investor domestik, karena mayoritas investor reksa dana merupakan investor domestik yang terdiri dari Dana Pensiun, Asuransi, Yayasan Kesehatan dan Investor perorangan. Memang masih ada investor asing, namun baik secara jumlah maupun nominal investasi masih lebih banyak didominasi oleh investor domestik.
3. Bahwa Investor masih percaya dengan kondisi perekonomian terwujud dari semakin membesarnya unit penyertaan reksa dana. Dengan demikian meningkatnya investasi pada reksa dana saham bisa berdampak pula pada perkembangan pasar modal di Indonesia.

Ke depan perilaku investor reksa dana menggunakan reksa dana saham sebagai instrumen investasi jangka pendek masih dapat terus berlanjut. Dengan perilaku investor yang demikian tentunya koreksi di bursa dapat dijadikan momentum bagi manajer investasi ataupun agen penjual untuk gencar memasarkan produk reksadana berbasis saham. Dan manajer investasi justru harus mempersiapkan kas bila IHSG melambung tinggi diatas 3% karena investor cenderung melakukan profit taking. Tentu saja menjadi PR bagi para pelaku industri baik manajer investasi maupun agen penjual bagaimana agar dana yang sudah masuk ini dapat dikembangkan secara optimal dan mengedukasi investor bahwa reksa dana saham seharusnya merupakan instrumen investasi jangka panjang.