Ketidakpastian kenaikan suku bunga the fed, refendum Brexit, volatilitas harga komoditas dan juga faktor dalam negeri seperti defisit anggaran pemerintah hingga perlambatan ekonomi terus menjadi rintangan bagi IHSG untuk melaju. Indeks Harga Saham Gabungan sempat mengalami rally dan mencapai rekor tertinggi di level 4933 pada awal Juni 2016 namun hingga saat artikel ini ditulis kembali lesu mengalami koreksi di level 4800 an. Sebenarnya koreksi bukanlah sesuatu yang aneh di bursa saham, kejadian terburuk dalam 10 tahun terjadi ditahun 2008 dimana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ambles sebesar 50% namun bila anda berinvestasi di IHSG maka potensi kerugian maksimal yang bisa anda derita adalah masuk di tanggal 8 Januari 2008 ketika indeks berada di level tertinggi 2830 dan keluar tanggal 29 Oktober 2008 saat IHSG terjun bebas ke level terendah di 1111 dengan kata lain anda buntung sebesar 61%. Kerugian sebesar -61% ini dalam istilah investasi dikenal sebagai Maximum Draw Down (MDD). Dalam 15 tahun terakhir data kejatuhan IHSG dapat dilihat dalam tabel berikut

Dapat dilihat bahwa walaupun umumnya indeks mengalami return positif namun selalu ada potensi bagi investor yang ”kurang beruntung” untuk mengalami kerugian setiap tahun bila membeli pada saat harga tertinggi dan ”cut loss” setelahnya pada harga terendah. Bila dirata-rata sejak tahun 2001 indeks selalu dapat jatuh sebesar 22% dari titik tertingginya. Kejatuhan dalam ini tidak terjadi dalam waktu singkat, di tahun 2008 nyaris dalam 10 bulan IHSG terus melemah, koreksi iHSG hingga kembali rebound tercepat terjadi di tahun 2004 yang mencapai 20 hari.

Walaupun potensi angka kerugian diatas terlihat mengerikan investor saham perlu untuk memiliki horizon investasi jangka panjang. Pada kerugian sangat dalam di tahun 2008 pun IHSG dapat rebound kembali di tahun 2010. Artinya selama fundamental ekonomi masih baik dan para emiten masih dapat menghasilkan profit dari menjalankan usahanya maka selalu ada potensi untuk rebound. Sebenarnya koreksi merupakan bagian dari investasi saham sehingga investor diharapkan selalu memiliki strategi untuk menghadapinya.

Sejalan dengan pola pergerakan IHSG, reksadana berbasis saham juga memiliki potensi risiko yang serupa. Reksadana saham pada hakikatnya adalah kita menitipkan uang kita ke manajer investasi (MI) untuk dikelola. Atas jasa penitipan dan pengelolaan tersebut maka MI memungut fee/biaya dalam bentuk persentase yang besarannya tetap. Dengan kata lain baik saat kita untung ataupun rugi MI akan terus memotong fee, tentu saja investor mengharapkan MI mampu mengalahkan pasar sehingga tidak sia sia kita membayar fee ke MI. Bentuk mengalahkan pasar ini bermacam-macam salah satunya adalah bila pasar sedang turun maka reksa dana saham diharapkan turun lebih kecil dari IHSG.

Pada tahun 2016 sendiri kerugian terdalam IHSG baru sekitar 4% dan melemah selama 27 hari, masih dibawah rata-rata 15 tahun sebanyak 76 hari, sehingga apapun alasanya investor tidak perlu heran ataupun panik bila IHSG jatuh lebih dalam lagi, baik oleh sentimen regional atau domestik. Investor diharapkan memiliki strategi dan tujuan yang jelas sehingga koreksi bursa dapat disikapi dengan cut-loss bila memang sudah tidak sesuai dengan profil risiko atau justru menjadi kesempatan untuk melakukan pembelian kembali terhadap instrumen berbasis saham bila horizon investasinya masih panjang. Dengan kondisi bursa saham saat ini berfluktuasi dengan cukup tajam maka bisa saja sewaktu-waktu berbalik arah. Untuk mengantisipasi hal ini investor dapat berinvestasi pada reksadana saham yang secara historis potensi kerugiannya lebih kecil dari IHSG dengan harapan bila tiba tiba pasar berbalik arah kerugian yang diderita investor tidak sebesar pasar. Strategi lain yang dapat diambil adalah dengan melakukan cost averaging yaitu melakukan pembelian instrumen secara berkala dengan besaran yang tetap untuk memperkecil potensi risiko. Happy Investing