Tren perusahaan publik (emiten) melakukan Penawaran Umum Saham Perdana (Initial Public Offering/IPO) memang menurun 3 tahun terakhir terkait isu perlambatan ekonomi dan juga koreksi pada bursa global dan regional. Namun di Tahun 2018 Bursa mentelak rekor dengan mencatatkan 52 Emiten yang melantai di bursa hingga 6 Dec 2018, jumlah ini meningkat tajam dibanding rata-rata 3 tahun terakhir yang dibawah 20 emiten pertahun. hal ini menggembirakan karena tren IPO meningkat jauh dari target Bursa Efek Indonesia sebanyak 35 emiten.

Minat emiten pada IPO sejatinya didorong oleh kondisi ekonomi domestik dan global yang kondusif serta mendukungnya kebijakan moneter, seperti rendahnya suku bunga yang mendorong investor cenderung mengalihkan investasi dari Pasar Uang ke Pasar Modal.

Bagi investor saham, IPO konon dipercaya berpotensi memberikan keuntungan (return) yang menggiurkan bagi investor. Sebagian besar saham IPO mampu mencetak return yang cukup signifikan di hari pertama perdagangan. Berdasarkan data yang diperoleh sepanjang semester 2018, dengan asumsi investor mengikuti seluruh IPO di pasar perdana dan melepas (menjual) sahamnya saat penutupan perdagangan hari pertama di pasar sekunder, dapat memperoleh return dengan rata-rata hingga 46%.

Namun sayangnya, berburu saham-saham IPO bukan berarti tanpa masalah. Salah satunya adalah tidak semua investor bisa mendapatkan jatah saham di pasar perdana. Penyebab utamanya adalah besarnya minat investor pada saham IPO yang menyebabkan lonjakan permintaan hingga terjadi kelebihan permintaan (oversubscribe).

Karena kesulitan tersebut, investor cenderung melampiaskan keinginannya saat saham IPO pertama kali melantai bursa. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana pergerakan dari harga saham yang baru listing tersebut di hari-hari selanjutnya? Untuk menjawabnya kita mengamati 52 saham yang IPO hingga Akhir November 2018. Periode kinerja saham juga dibagi menjadi periode T+1,T+5 dan T+30 sejak tanggal penawaran umum

T+1 mengasumsikan investor mendapatkan saham IPO di masa penawaran dan langsung menjualnya pada harga penutupan hari pertama. Sedangkan T+5 mengasumsikan investor mendapatkan saham IPO saat masa penawaran dan baru menjualnya pada harga penutupan di hari kelima atau satu minggu kemudian

Dari pengolahan tersebut, diperoleh fakta bahwa dari ke-52 saham IPO yang listing, ada 5 emiten yang sudah mencetak return negatif alias rugi di hari pertama perdagangan (T+1). Sisanya sebanyak 47 saham atau dengan peluang sebesar 90% mampu mencetak return positif alias untung. Berikut tabel perbandingan kinerja saham IPO dengan berbagai periode pengamatan.

Dari 52 Emiten yang IPO pada tahun 2018 rata-rata return 1 harinya adalah 46.7%, rata-rata return 5 Hari 133% dan rata-rata return 1 bulan 222%. Dari data yang ada untuk emiten yang harganya turun dihari pertama cenderung terus negatif hingga hari ke 5 dan ke 30. Sehingga lebih baik bagi investor yang berorientasi trading jangka pendek melakukan cutloss bila dihari pertama returnnya tidak positif. Dari sisi rata-rata return, ternyata hasilnya akan lebih besar jika investor memegang untuk periode yang lebih panjang dibanding dengan bermain jangka pendek.

Pada tahun 2019 masih terdapat beberapa emiten yang akan melakukan IPO termasuk anak usaha BUMN yang umumnya diminati oleh investor, diharapkan kinerja IPO saham tersebut dapat lebih baik dari saham IPO sebelumnya terkait ekspektasi terhadap kinerja fundamental emiten yang lebih baik dan kondisi recovery pada bursa saham sehingga kembali memunculkan minat baik dari emiten maupun investor terkait IPO.

Kesimpulannya, ternyata tidak semua saham IPO selalu membawa berkah, dalam jangka panjang investor dianjurkan melihat prospek fundamental emiten itu sendiri. Dengan demikian, investor tidak akan merasa terjebak dan sekaligus lebih aman karena fundamental-lah yang akhirnya menentukan arah pergerakan harga saham selanjutnya.

Happy Investing