Tiga perempat tahun 2018 telah kita lewati, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang merupakan barometer kinerja pasar saham di Indonesia telah terkoreksi 6% sampai dengan akhir September 2018, kinerja ini menjadi salah satu yang cukup rendah di asia, sementara itu kinerja Infovesta Goverment Bond Index (IGBI) yang merupakan barometer pertumbuhan obligasi pemerintah terkoreksi 2.5%. Pelemahan ini dipicu terutama oleh naiknya suku bunga dan pelemahan Rupiah terhadap USD. Bagaimana dengan kinerja industri reksa dana Indonesia?

Tahun 2018 diawali dengan iklim investasi yang menarik karena dimulai dengan inflasi tahunan yang rendah di 3.6%, seiring dengan tren ekonomi dunia inflasi justru terus menurun ke 2.88% y-o-y di akhir September 2018. Turunnya inflasi sempat menjadi katalis positif yang membuat IHSG menembus rekor baru pada bulan Februari namun tren normalisasi suku bunga The Fed di Amerika Serikat dan perang dagang yang dilancarkan oleh Presiden Donald Trump memaksa kenaikan suku bunga BI 7 Day Repo Rate ditengah upaya pemerintah untuk terus meningkatkan kredit dan konsumsi masyarakat. Pelemahan rupiah juga membuat cadangan devisa Indonesia tergerus dari USD 130 Miliar menjadi dibawah USD 120 Miliar pada akhir Agustus. Hal ini memicu profit taking oleh investor asing dipasar saham dimana hingga akhir September 2018 investor asing mencatatkan arus keluar hingga Rp 50 Triliun. Pada Surat Hutang Negara sendiri investor asing masih mencatatkan kenaikan kepemilikan pada tahun 2018 ini.

Digerus oleh pertumbuhan indeks harga saham gabungan yang kurang menggembirakan kinerja reksa dana saham ikut negatif namun relatif lebih baik dari indeks acuan. Hingga Akhir September 2018 rata-rata reksa dana saham membukukan kinerja minus 5.6% dengan reksa dana saham terbaik membukukan return 34% dan yang terburuk mencatatkan kerugian -22%, yang dapat menjadi catatan adalah dari sekitar 300 reksa dana saham yang ada terdapat 52 produk yang mampu memberikan kinerja positif. Kinerja manajer investasi patut diaresiasi mampu mengelola portfolio yang memberikan hasil positif saat pasar tertekan.

Sementara pada reksa dana pendapatan tetap berbasis rupiah, reksa dana berbasis obligasi ini secara rata-rata membukukan kinerja sebesar -3.9%, dengan reksa dana pendapatan tetap terbaik membukukan kinerja 8.6% dan yang terburuk sebesar -17.5%. reksa dana pendapatan tetap dengan kinerja positif umumnya memiliki portfolio berupa surat berharga korporasi dimana harga obligasi korporasi tidak terlalu terpengaruh oleh kenaikan suku bunga. Sementara untuk reksadana yang berbasis obligasi negara umumnya membukukan kinerja negatif.

Sedangkan reksa dana campuran yang isinya umumnya adalah perpaduan antara saham dan obligasi secara rata-rata membukukan kinerja sebesar -3.5% dengan reksa dana campuran terbaik menghasilkan return sebesar 28% dan yang terburuk merugi sebesar -27%. Disusul oleh reksa dana pasar uang yang secara rata-rata memberikan kinerja sebesar 2.9% dengan reksa dana pasar uang terbaik memberikan return sebesar 5.8% dan yang terburuk sebesar -2.22%.

Secara dana kelolaan industri tahun 2017 terus mencatatkan kenaikan. Per akhir Sep 2018 dana kelolaan total reksa dana non pernyertaan terbatas mencapai Rp 470 triliun, Komposisi 3 dana kelolaan terbesar masih dikuasai oleh industri reksa dana saham sebesar Rp 144 triliun, disusul oleh reksa dana terproteksi sebesar Rp 95.3 triliun dan reksa dana pendapatan tetap sebesar Rp 73.5 triliun.

Dana kelolaan total sendiri tumbuh 6.8% dibanding dana kelolaan per akhir tahun 2017 sebesar Rp 440 triliun. Fenomena menarik terjadi pada jenis reksadana konvensional hanya reksadana saham yang masih bisa tumbuh secara dana kelolaan, sementara jenis pendapatan tetap, campuran dan pasar uang justru menurun. Namun demikian jenis reksadana terproteksi, indeks, ETF dan kontrak investasi kolektif ( DIRE, KIK EBA, DINFRA) terus bertumbuh. Hal ini dapat dilihat bahwa jenis reksadana diatas mulai dilirik investor.

Nominal pertumbuhan tertinggi terjadi di industri reksa dana terproteksi yang dana kelolaanya tumbuh Rp 20 triliun atau sekitar 18.5% disusul oleh reksa dana saham yang dana kelolaanya tumbuh Rp 16 triliun atau sekitar 12.5%. Melihat tren yang ada investor reksadana saat ini berfokus pada reksadana terproteksi dan saham.

Tren ini mungkin masih berlanjut karena potensi kenaikan suku bunga masih terus berlanjut sehingga lebih aman bagi investor untuk memiliki reksadana berbasis obligasi melalui reksadan terproteksi dibanding reksadana penapatan tetap yang memiliki risiko penurunan harga terkait naiknya suku bunga. Dengan tren pertumbuhan yang ada diharapkan pada akhir tahun 2018 nanti dana kelolaan indutri reksa dana dapat menembus rekor tertinggi tahun ini yang pernah mencapai Rp 481 triliun rupiah.

Namun demikian diversifikasi tetap penting karena tidak mungkin investor dapat menebak secara pasti reksa dana jenis apa yang akan bersinar, maka tidak ada salahnya untuk meminimalkan risiko dengan diversifikasi atau menyebarkan dana pada jenis reksa dana yang berbeda dengan tetap disesuaikan dengan tujuan finansial masing-masing.

Happy Investing