Gejolak pasar saham akibat pandemi Covid-19 nyatanya masih berlanjut di tahun 2021. Hal tersebut berdampak terhadap kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sejak 4 Januari 2021 hingga 30 April 2021 yang mencatatkan kinerja negatif sebesar -1,79% ke level 5.996. Penurunan IHSG terdalam terjadi di bulan Maret 2021 sebesar -4,11% di mana sektor Properti dan Manufaktur menjadi sektor penyumbang penurunan terbesar yaitu 12,39% dan 12,36%.
Pelemahan kinerja IHSG disebabkan oleh ragam sentimen yang membebani, di mana Bank Indonesia menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan tahun 2021 menjadi 4,1% - 5,1% dari 4,3% - 5,3% karena konsumsi swasta yang masih terbatas seiring dengan diberlakukannya pembatasan sosial. Berikutnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia Kuartal I-2021 juga masih diprediksi terkontraksi -1% hingga -0,1% secara Year on Year (YoY). Kebijakan Bank Sentral yang mempertahankan tingkat suku bunga acuan BI 7 Days Reverse Repo Rate di level 3,5% sejak Februari 2021 nampaknya belum memberikan sentimen positif yang cukup kuat untuk mendorong kinerja IHSG.
Selanjutnya, perkembangan kasus Covid-19 secara global pun belum kunjung berakhir. Beberapa negara mengalami lonjakan kasus Covid-19 khususnya di India sebanyak 19 juta kasus yang hingga saat ini jumlahnya berada di urutan tertinggi kedua setelah Amerika Serikat (AS) sebanyak 33 juta kasus. Di Indonesia sendiri, baru-baru ini Menteri Kesehatan menyatakan bahwa terdapat dua mutasi virus lain selain mutasi virus Covid-19 dari Inggris yang telah masuk ke Indonesia, yaitu mutasi baru dari India B1617 dan Afrika Selatan. Berbagai isu efektivitas pada vaksin tertentu beserta efek sampingnya juga tengah menjadi sorotan di tengah kekhawatiran terjadinya gelombang kedua pandemi Covid-19.
Meskipun masih terdapat sentimen yang membebani baik secara internal maupun eksternal, namun data ekonomi secara domestik dan global menunjukkan adanya kemajuan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatatkan surplus neraca perdagangan Indonesia pada bulan Maret 2021 sebesar US$1,57 miliar karena kenaikan ekspor yang lebih tinggi dari posisi impor. Selain itu, tingkat inflasi Indonesia pada bulan April juga tercatat naik 0,13% secara Month on Month (MoM) menjadi 1,42% secara YoY yang menunjukkan adanya peningkatan konsumsi masyarakat.
Di Amerika Serikat, data pengangguran tercatat sebesar 6% pada Maret 2021 atau merupakan angka terendah selama satu tahun serta The Fed sendiri masih mempertahankan tingkat suku bunga acuannya di level 0,25% yang kemungkinan akan bertahan hingga tahun 2023 diiringi dengan ragam stimulus yang dirilis oleh Joe Biden. Berikutnya, data PMI Manufaktur di Zona Eropa pada bulan Maret tercatat naik ke level 62,5 dan diatas perkiraan sebesar 62,4 dan jauh di atas level 57,9 bulan Februari meskipun terdapat lockdown di beberapa negara bagiannya. Beralih ke bursa Asia, data pertumbuhan ekonomi China per Q1-2021 naik 18,3% secara YoY dan merupakan laju ekspansi tertinggi sejak 1992.
Dengan demikian, meskipun data ekonomi secara keseluruhan membaik, IHSG dalam jangka pendek hingga setidaknya kuartal II 2021 masih akan cenderung bergerak fluktuatif akibat kenaikan kasus Covid-19 di berbagai negara seperti India dan Malaysia akhir-akhir ini yang memicu kekhawatiran investor serta belum ada cukup sentimen positif lanjutan yang dapat mendukung pemulihan ekonomi dalam waktu dekat. Tak hanya itu, perbaikan ekonomi di AS juga berpotensi memicu penguatan Dollar AS terhadap sejumlah mata uang dunia, termasuk terhadap Rupiah sehingga dapat menjadi sentimen negatif pada kinerja investasi pasar modal.
Hingga 1 Mei 2021, kasus Covid-19 di dalam negeri secara Year to Date (YTD) sudah berhasil mengalami penurunan kasus harian mencapai 44,10% ke level 4.152 kasus baru dan diharapkan akan terus membaik dengan adanya dukungan program vaksinasi di mana hingga 2 Mei 2021 sudah mencapai hampir 12,5 juta penerima vaksin. Oleh karena itu, dengan dilanjutkannya program vaksinasi yang diiringi dengan perbaikan kasus Covid-19 dalam negeri.
Hal tersebut diharapkan dapat memicu peningkatan konsumsi masyarakat sehingga roda ekonomi dapat kembali pulih dan mencatatkan perbaikan pada sejumlah indikator ekonomi makro domestik, terutama pertumbuhan penyaluran kredit masih lesu hingga Maret 2021 yang justru -4,13%. Optimisme terhadap perekonomian domestik juga terefleksi pada data indeks Manufacture PMI per April 2021 yang naik ke level tertinggi baru, yakni 54,6. Artinya, para pelaku usaha mulai mencoba optimis terhadap pemulihan ekonomi di dalam negeri meskipun belum terjadi dalam jangka pendek.
Dalam mendukung penguatan IHSG, maka aliran dana dari investor asing juga memegang peran penting dalam perdagangan di pasar saham Indonesia di mana secara YTD per akhir April 2021, investor asing masih tercatat transaksi beli bersih sebesar Rp9,04 triliun. Apabila dilihat secara valuasi fundamental melalui pendekatan Price to Earnings Ratio (PER), kondisi IHSG saat ini masih tergolong murah dengan PER di level 10,6 kali di bawah rata-rata jangka panjang.
Oleh karena itu, investor dapat memanfaatkan momentum pelemahan ini sebagai peluang untuk melakukan aksi buy on weakness ataupun average down pada secara perlahan pada saham-saham yang menarik secara prospek bisnis dan fundamental keuangan jika terjadi koreksi sambil terus memperhatikan perkembangan kasus Covid-19 dan pemulihan ekonomi global. Adapun sejumlah sektor yang menarik jadi alternatif adalah sektor Perdagangan Ritel, Barang Konsumsi, Farmasi, Telekomunikasi, dan juga Perbankan.
Selamat berinvestasi!