Tahun 2018 telah kita lewati dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang merupakan barometer kinerja pasar saham di Indonesia telah ditutup melemah 2.54% sepanjang 2018, kinerja ini memang kurang menggembirakan namun menjadi salah satu yang terbaik di asia, sementara itu kinerja Infovesta Goverment Bond Index (IGBI) yang merupakan barometer pertumbuhan obligasi pemerintah tumbuh negatif 0.8% mengikuti sentimen negatif kenaikan suku bunga. Bagaimana dengan kinerja industri reksadana Indonesia?
Tahun 2018 diawali dengan iklim investasi yang menarik karena dimulai dengan inflasi tahunan yang rendah di 3.25%, seiring dengan tren perlambatan ekonomi dunia dan tren kenaikan suku bunga di Amerika Serikat inflasi perlahan justru menurun ke 2.88% y-o-y di akhir September 2018, sebelum akhirnya sedikit naiki dan ditutup pada angka 3.13% pada Desember 2018. Gejolak inflasi yang cenderung stagnan diiringi dengan kenaikan suku bunga ditengah upaya pemerintah untuk menjaga nilai tukar disaat suku bunga the fed mengalami kenaikan yang mendorong aliran dana asing yang keluar dari SUN dan pasar saham. Suku bunga acuan BI 7 Day repo rate pun naik dari 4.25% menuju 6%.
IHSG yang sempat mencetak rekor tertinggi di level 6689 pada pertengahan bulan februari sempat terkoreksi -11% pada awal juli 2018 sebelum akhirnya dapat rebound menuju 6194 di akhir tahun meski secara kinerja tahunan masih negatif.
Ditengah pertumbuhan indeks harga saham gabungan yang cenderung terkoreksi kinerja reksadana saham justru dibawah ekspektasi. Hingga Akhir Desember 2018 rata-rata reksadana saham membukukan kinerja negatif 3.67% dengan reksadana saham terbaik membukukan return 34.8% dan yang terburuk mencatatkan kerugian -24%. Sementara pada reksadana pendapatan tetap berbasis rupiah, reksadana berbasis obligasi ini secara rata-rata membukukan kinerja sebesar – 2.2%, dengan reksadana pendapatan tetap terbaik membukukan kinerja 10.7% dan yang terburuk sebesar -16%.
Sedangkan reksadana campuran yang isinya umumnya adalah perpaduan antara saham dan obligasi secara rata-rata membukukan kinerja sebesar -2% dengan reksadana campuran terbaik menghasilkan return sebesar 29% dan yang terburuk merugi sebesar -29%. Disusul oleh reksadana pasar uang yang secara rata-rata menjadi satu-satunya yang memberikan kinerja positif sebesar 4.2% dengan reksadana pasar uang terbaik memberikan return sebesar 13% dan yang terburuk sebesar -3%.
Hasil kinerja reksadana 2018 diatas masih senada dengan tahun-tahun sebelumnya dimana reksadana campuran,saham dan pendapatan tetap memberikan kinerja yang setara secara rata-rata sementara reksadana saham justru memberikan kinerja dibawah dari IHSG. Berdasarkan data yang ada, tercatat 85 reksadana saham dari total 238 produk beredar (36%) yang telah terbit sejak awal tahun dapat membukukan return lebih tinggi dari IHSG. Mengacu pada kalkulasi data secara historis (periode 2003 – 2017), di mana secara rata-rata hanya 50% dari total produk reksadana saham yang dapat mengalahkan IHSG, data terbaru ini menegaskan kembali bahwa dari sisi return semakin sulit bagi manajer investasi untuk mengelola reksadana yang mampu melampaui IHSG dalam kondisi pasar yang bullish maupun bearish sehingga disarankan bagi manajer investasi untuk menyusun portfolio yang lebih menyerupai indeks. Disisi lain secara individual kinerja reksadana saham masih menjadi yang terbaik dibanding jenis reksadana lainnya.
Walau kinerja negatif namin secara dana kelolaan industri tahun 2018 terus mencatatkan kenaikan. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan Per akhir Desember 2018 dana kelolaan total reksadana non pernyertaan terbatas mencapai Rp 507 triliun, Komposisi 3 dana kelolaan terbesar masih dikuasai oleh industri reksadana saham sebesar Rp 143 triliun, disusul oleh reksadana terproteksi sebesar Rp 141 triliun dan reksadana pendapatan tetap sebesar Rp 101 triliun. Dana kelolaan total sendiri tumbuh 11% dibanding dana kelolaan per akhir tahun 2017 sebesar Rp 456 triliun.
Di tahun 2019 ini industri reksadana kita memiliki banyak harapan seiring harapan pertumbuhan ekonomi yang membaik, pemilu pada bulan april, harapan yang tinggi atas realisasi pembangunan infrastruktur, rendahnya inflasi dan ekspektasi perbaikan harga komoditas yang menjadi katalis bagi pasar obligasi maupun saham. Namun demikian dunia juga masih dibayangi kenaikan suku bunga the fed yang dapat berimbas negative pada kinerja instrument berbasis obligasi. Berkaca pada kinerja industri reksadana secara keseluruhan pada tahun 2018 maka sepertinya efek psikologis kinerja tahun 2017 dimana return reksadana saham lebih baik dari campuran dan pendapatan tetap terhapus di tahun ini.. Namun demikian diversifikasi tetap penting karena tidak mungkin investor dapat menebak secara pasti reksadana jenis apa yang akan bersinar, maka tidak ada salahnya untuk meminimalkan risiko dengan menyebarkan dana pada jenis reksadana yang berbeda dengan tetap disesuaikan dengan tujuan finansial masing-masing.
Happy Investing