Memasuki kuartal IV 2018, prediksi-prediksi mengenai tingkat outlook, pertumbahan ekonomi, prospek sektor, hingga nilai IHSG untuk tahun depan mulai banyak di media massa. Bagaimana dengan prospek reksadana di tahun 2019?

Secara sederhana, prediksi indeks menggunakan PER (Price Earning Ratio) merupakan perkalian antara ekspektasi pendapatan emiten di tahun 2019 dengan rasio PER yang wajar menurut analis. Ekspektasi pendapatan emiten biasanya diprediksi dengan mempertimbangkan faktor makro seperti pertumbuhan ekonomi, kapitalisasi pasar, prospek pertumbuhan masing-masing sektor dan pertumbuhan ekonomi global. Semakin baik kondisi-kondisi tersebut, maka semakin tinggi pula ekspektasi pendapatan.

Perbedaan persepsi antara ekspektasi pertumbuhan pendapatan dan Rasio PER wajar inilah yang membedakan satu analis dengan analis lainnya. Ada yang optimis, ada yang moderat, adapula yang pesimis.

Kembali ke reksadana, metode PER ini hanya cocok jika diterapkan pada jenis reksadana indeks atau ETF yang komposisi dan jenis sahamnya tetap dengan menghitung proyeksi return dari masing-masing saham kemudian dihitung bobotnya berdasarkan komposisi masing-masing. Untuk reksadana jenis konvensional, cara ini kurang tepat karena Manajer Investasi dapat mengubah portofolionya sewaktu-waktu.

Untuk memprediksi return reksadana, investor dapat mempergunakan tingkat risiko (standar deviasi) reksadana. Salah satu teori manajemen portofolio yang mengakomodasikan prediksi return menggunakan tingkat risiko adalah konsep Capital Market Line (CML). CML adalah suatu garis yang mencerminkan tingkat return yang diharapkan dari suatu instrumen / portofolio investasi pada berbagai tingkat risiko. Rumus untuk menghitung tingkat return yang diharapkan berdasarkan CML adalah sebagai :

Risk Free yang dipergunakan disini adalah BI 7 day repo rate (Rate Bank Indonesia) setelah pajak.
Tingkat Risiko yang dimaksud adalah standar deviasi dari reksadana dan IHSG dalam periode tertentu

Hingga saat ini berdasarkan analisa infovesta prediksi IHSG secara umum berkisar diantara 6600 – 6800, atau bila diasumsikan IHSG ditutup pada level 6100 - 6200 di akhir tahun, berpotensi naik sebesar 6.5% hingga 10%. Dengan asumsi tingkat Risk Free yaitu BI 7 Day repo rate untuk tahun depan sekitar 5% setelah pajak ( dengan asumsi inflasi tetap terkendali dan suku bunga rata-rata tidak melebihi 6.5%) serta tingkat risiko reksadana dihitung berdasarkan standar deviasi historis reksadana selama 3 tahun terakhir, maka prediksi untuk return reksadana saham, reksadana campuran dan reksadana pendapatan tetap untuk tahun 2019 adalah sebagai berikut:

Dari analisa skenario moderat dengan target IHSG sebesar 6600 per akhir 2019, pilihan reksadana yang paling menguntungkan adalah reksadana saham. Namun reksadana saham yang menanggung tingkat risiko yang besar dan diprediksikan hanya dapat membukukan sekitar 2% di atas reksadana campuran, sementara untuk jenis reksadana pendapatan tetap, tingkat return yang dihasilkan bisa dibawah Risk Free karena faktor naiknya suku bunga. Dalam skenario ini lebih optimal bila sekalian diinvestasikan di reksadana pasar uang yang imbal hasilnya setara risk free, karena tingkat risiko yang ditanggung tidak sesuai dengan return yang diterima.

Namun lain ceritanya jika yang terjadi adalah skenario optimis, dimana IHSG mampu mencapai 6800. Jenis reksadana saham menjadi jenis yang dapat menjadi pilihan utama karena diprediksikan mampu memberikan tingkat return sekitar 10% atau 2.5% di atas jenis reksadana campuran. Tingkat return untuk reksadana pendapatan tetap juga meningkat di atas tingkat risk free yang sebesar 5%. Dalam kondisi ini, investor dapat memilih jenis reksadana yang sesuai dengan profil risiko karena masing-masing reksadana mampu memberikan tingkat return yang sepadan.

Harap diingat bahwa perhitungan diatas mengasumsikan pergerakan return suatu jenis reksadana konsisten dengan risiko yang ditanggung. Deviasi dapat terjadi seperti di tahun 2017 dimana meski IHSG terus mencetak rekor tinggi justru rata-rata reksadana saham kinerjanya hanya setengah dari indeks karena kebanyakan manajer investasi belum mampu meracik portfolio yang memanfaatkan kenaikan IHSG secara optimal. Di tahun 2018 pun prediksi dapat meleset karena faktor eksternal seperti kenaikan bunga The Fed dan juga perang dagang yang membuat dana asing deras keluar dari pasar modal dan membuat baik pasar saham dan obligasi mengalami koreksi cukup dalam.

Pasar modal Indonesia dapat banyak berharap pada tahun politik 2019 dimana umumnya pasar saham akan bergairah menyambut suksesi kepemimpinan yang ada. Dan umumnya setelah tahun dimana IHSG negatif, tahun selanjutnya selalu positif.

Pendekatan prediksi return dengan menggunakan konsep risiko agak berbeda dengan pendekatan yang digunakan umum yang sering dipergunakan yang menggunakan konsep penghasilan di masa mendatang. Investor perlu memahami hal tersebut, karena reksadana bukan merupakan instrumen akan tetapi lebih merupakan hasil dari keahlian pengelolaan dana yang memiliki karakteristik tertentu. Sehingga investor perlu mencermati berbagai faktor seperti kinerja historis, outlook dari manajer investasi dan jangka waktu investasi untuk memilih investasi di reksadana.

Apakah hasil prediksi di atas telah memenuhi ekspektasi anda?

Happy Investing