Luar Biasa, kata ini yang dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi industri reksadana di Indonesia pada tahun 2020. Kondisi pandemi COVID-19 jelas memukul secara kinerja terutama untuk reksadana berbasis saham, pun demikian minat investasi masyarakat justru meningkat tajam yang terlihat dari pertumbuhan jumlah investor menembus 3 juta orang dan juga dana kelolaan yang mencapai rekor baru menembus Rp 550 Triliun.

Kinerja industri reksadana tahun 2020 sempat menurun dibanding awal tahun, walau demikian perbaikan kinerja signifikan terlihat pada kuartal IV. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang merupakan barometer kinerja pasar saham di Indonesia terkoreksi 5.1%, Sementara itu kinerja Infovesta Goverment Bond Index (IGBI) yang merupakan barometer pertumbuhan obligasi pemerintah walau sempat negatif tapi mampu untuk rebound hingga positif 9.8%. Bagaimana dengan kinerja industri reksadana Indonesia?

Tahun 2020 diawali dengan harapan baru atas iklim investasi yang lebih menarik karena dimulai dengan inflasi tahunan yang rendah di 2.7% dan membuka harapan atas penurunan suku bunga, hal ini sempat membuat industri pasar obligasi bergairah menguat 2.7% pada bulan Februari, namun ketika pandemi COVID-19 melanda Indonesia, industri pasar modal pun ikut terjungkal dilanda panic selling. Pada bulan Maret 2020 IHSG sempat terjun bebas hingga level 3900 an atau turun 37%, ini merupakan salah satu kinerja terburuk sepanjang sejarah, sedangkan kinerja obligasi negara terjungkal minus 2,3%.

Seiring dengan meredanya gelombang jual oleh investor asing dan juga timbulnya harapan terkait vaksinasi COVID-19 maka pasar modal pun berangsur mulai pulih, IHSG yang terpuruk mampu kembali ke level 6000 an dan kinerja obligasi pemerintah kembali bersinar setelah terjadi penurunan suku bunga hingga 5 kali.

Seiring indeks harga saham gabungan yang terkoreksi kinerja reksadana saham pun ikut terkoreksi. Hingga Akhir tahun 2020 rata-rata reksadana saham ikut terkoreksi 7%. Sementara pada reksadana pendapatan tetap rupiah secara rata-rata positif sebesar 10.3%, dengan reksadana pendapatan tetap terbaik membukukan kinerja 20% dan hanya terdapat 5 reksadana yang kinerjanya negatif.

Sedangkan reksadana campuran yang isinya umumnya adalah perpaduan antara saham dan obligasi secara rata-rata mampu bertahan dengan kinerja 0.3%, ini menunjukkan portfolio obligasi mampu bertahan ketika pandemi. Untuk reksadana yang tidak pernah merugi di tahun ini adalah reksadana pasar uang yang secara rata-rata memberikan kinerja sebesar 4.67% dengan reksadana pasar uang terbaik memberikan return sebesar 7.7%.

Hasil kinerja reksadana 2020 diatas memang diluar ekspektasi terkait tekanan pandemi COVID-19, namun hal yang patut dipresiasi tercatat 109 reksadana saham dari total 255 produk beredar (41%) yang telah terbit sejak awal tahun dapat membukukan return lebih tinggi dari IHSG, data terbaru ini cukup positif karena rata-rata manajer investasi sudah dapat meracik portfolio yang kinerjanya lebih baik dari

IHSG walau dalam kasus ini sebagian berupa kerugian yang lebih kecil dari IHSG. Meski demikian hal ini tetap harus diapresiasi mengingat kondisi pasar modal yang masih tertekan sentimen perlambatan ekonomi akibat pandemi

Walau dengan kinerja negatif, dana kelolaan industri tahun 2020 terus mencatatkan kenaikan. Per akhir Desember 2020 dana kelolaan total reksadana non pernyertaan terbatas mencapai Rp 553 triliun. Komposisi 3 dana kelolaan terbesar masih dikuasai oleh industri reksadana terproteksi sebesar Rp 137 triliun, disusul oleh reksadana pendapatan tetap sebesar Rp 126 triliun dan reksadana saham sebesar Rp 126 triliun.

Dana kelolaan total sendiri naik 4% menjadi rp 553 triliun dibanding dana kelolaan per akhir tahun 2019 sebesar Rp 532 triliun. Fenomena kenaikan tertinggi terjadi di industri reksadana pasar uang yang dana kelolaanya naik 35% dari Rp 68 Triliun menjadi Rp 92 Triliun disusul oleh reksadana ETF naik 14% dan reksadana pendapatan tetap yang naik 11%. Ini memperlihatkan minat investor pada instrumen yang dipandang aman.

Di tahun 2020 tantangan industri reksadana tidak hanya dari sisi penurunan nilai aset tetapi juga kasus hukum yang menimpa beberapa manajer investasi hingga menjadi tersangka, sempat timbul kekhawatiran bahwa perkembangan ini akan menekan dana kelolaan industri, namun data akhir tahun menunjukkan bahwa dana kelolaan dan unit penyertaan reksadana masih meningkat yang artinya kepercayaan investor tetap terjaga dengan melakukan pembelian pada produk reksadana.

Untuk 2021 kita memiliki harapan untuk kembali menguat seiring harapan pulihnya kegiatan ekonomi dengan vaksinasi, rendahnya inflasi dan ekspektasi penurunan suku bunga lebih lanjut meski terbatas. Namun demikian dunia juga masih berperang melawan pandemi COVID-19 sehingga ketidakpastian terutama pada instrumen saham dan juga obligasi korporasi akan menjadi tantangan utama di tahun ini. Reksadana berbasis Surat Utang Negara dipandang yang paling menarik untuk tahun ini dan tahun depan. Berkaca pada kinerja industri reksadana 2020 maka terlihat preferensi investor melakukan penempatan dana baru lebih banyak ke jenis reksadana berbasis indeks dan ETF, obligasi serta pada pasar uang. Manajer investasi tentunya diharapkan dapat mengakomodasikan tren ini. Target return untuk reksadana berbasis obligasi sendiri diharapkan sekitar 7%, untuk berbasis saham 10% dan untuk pasar uang menjadi 3.75%

Namun demikian diversifikasi tetap penting karena tidak mungkin investor dapat menebak secara pasti reksadana jenis apa yang akan bersinar, maka tidak ada salahnya untuk meminimalkan risiko dengan menyebarkan dana pada jenis reksadana yang berbeda dengan tetap disesuaikan dengan tujuan finansial masing-masing. Alokasi yang didarankan untuk Semester pertama 2021 adalah 50% pada reksadana berbasis Obligasi, 30 % pada saham dan 20% pada pasar uang

Happy Investing