Kondisi industri reksadana di Indonesia pada tahun 2021 boleh dibilang tidak menggembirakan. Beberapa katalis positif dan negatif silih berganti menerpa. Pada awal tahun pasar modal sempat bergairah dengan ekpektasi vaksinasi nasional akan membuat ekonomi kembali tumbuh, namun kondisi pandemi COVID-19 yang berkelanjutan terus memukul kinerja terutama untuk reksadana berbasis saham, Ditambah adanya kenaikan Yield treasury notes di amerika serikat yang memicu harga sun berguguran. Pun demikian minat investasi masyarakat masih meningkat yang terlihat dari pertumbuhan jumlah investor menembus 4 juta orang.

Kinerja industri reksadana kuartal pertama 2021 memang menurun dibanding awal tahun. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang merupakan barometer kinerja pasar saham di Indonesia bergerak tipis 0.11%, Sementara itu kinerja Infovesta Goverment Bond Index (IGBI) yang merupakan barometer pertumbuhan obligasi pemerintah terus negatif hingga -1.25%. Bagaimana dengan kinerja industri reksadana Indonesia?

Tahun 2021 diawali dengan harapan baru atas iklim investasi yang lebih menarik karena dimulai dengan ekspektasi vaksin akan membuat pertumbuhan ekonomi kembali positif di kuartal I, hal ini sempat membuat industri pasar saham bergairah menguat hingga level 6400 pada awal tahun, namun ketika jumlah penderita baru COVID-19 naik signifikan industri pasar modal pun ikut terjungkal dilanda panic selling. Pada bulan Maret 2021 IHSG sempat terjun hingga level dibawah 5900 an atau turun 2%, ini merupakan salah satu kinerja terburuk sepanjang sejarah, sedangkan kinerja obligasi negara terjungkal minus 1.25%.

Seiring dengan meredanya gelombang jual oleh investor asing dan juga timbulnya harapan setelah vaksinasi COVID-19 mulai berjalan maka pasar modal pun berangsur mulai pulih, IHSG yang terpuruk mampu kembali ke level 6300 an walau katalis negatif terkait gelombang ketiga pandemi kembali membuat IHSG terpuruk kembali ke bawah level 6000

Seiring indeks harga saham gabungan yang terkoreksi kinerja reksadana saham pun ikut terkoreksi. Hingga Akhir Maret 2021 rata-rata reksadana saham ikut terkoreksi 5%. Sementara pada reksadana pendapatan tetap rupiah secara rata-rata negatif sebesar 1.7%, dengan reksadana pendapatan tetap terbaik membukukan kinerja 2.5% dan hanya terdapat 44 reksadana yang kinerjanya positif.

Sedangkan reksadana campuran yang isinya umumnya adalah perpaduan antara saham dan obligasi secara rata-rata juga negatif sebesar 2.4%. Untuk reksadana yang tidak pernah merugi di tahun ini adalah reksadana pasar uang yang secara rata-rata memberikan kinerja sebesar 0.91% dengan reksadana pasar uang terbaik memberikan return sebesar 1.55%.

Hasil kinerja reksadana 2021 diatas memang diluar ekspektasi terkait tekanan pandemi COVID-19, tercatat 29 reksadana saham dari total 266 produk beredar (15%) yang telah terbit sejak awal tahun dapat membukukan return lebih tinggi dari IHSG, data terbaru ini kembali menunjukkan rata-rata

manajer investasi belum dapat meracik portfolio yang kinerjanya lebih baik dari IHSG. Sehingga reksadana berbasis indeks kembali menjadi pilihan investasi yang menarik dari sisi risiko.

Walau dengan kinerja negatif, dana kelolaan industri tahun 2021 terus bertahan. Per akhir February 2021 dana kelolaan total reksadana non pernyertaan terbatas bertahan di level Rp 550 triliun. Komposisi 3 dana kelolaan terbesar masih dikuasai oleh industri reksadana terproteksi sebesar Rp 135 triliun, disusul oleh reksadana pendapatan tetap sebesar Rp 128 triliun dan reksadana saham sebesar Rp 122 triliun.

Dana kelolaan total per February 2021 sendiri naik 6.6% menjadi rp 548 triliun dibanding dana kelolaan per February 2020 sebesar Rp 514 triliun. Fenomena kenaikan tertinggi terjadi di industri reksadana pasar uang yang dana kelolaanya naik 22.7% dari Rp 75 Triliun menjadi Rp 92 Triliun disusul oleh reksadana Indeks naik 22.2% dan reksadana pendapatan tetap yang naik 11.7%. Ini memperlihatkan minat investor pada instrumen yang dipandang aman.

Di tahun 2021 tantangan industri reksadana tidak hanya dari sisi penurunan nilai aset tetapi juga kasus hukum yang menimpa beberapa manajer investasi hingga menjadi tersangka, dan berita bahwa investor institusi besar akan mengurangi porsi pada investasi saham dan reksadana. Timbul kekhawatiran bahwa perkembangan ini akan menekan pasar saham dan dana kelolaan industri, namun data investor retail yang terus meningkat lebih dari 4 juta orang dimana 80% nya adalah generasi milenial dengan fokus pada reksadana pasar uang artinya kepercayaan investor tetap terjaga dengan melakukan pembelian pada produk reksadana.

Untuk sisa 2021 kita memiliki harapan untuk kembali menguat seiring harapan pulihnya kegiatan ekonomi dengan vaksinasi, rendahnya inflasi dan ekspektasi penurunan suku bunga lebih lanjut meski terbatas. Namun demikian dunia juga masih berperang melawan pandemi COVID-19 sehingga ketidakpastian terutama pada instrumen saham dan juga obligasi korporasi akan menjadi tantangan utama di tahun ini. Reksadana berbasis Surat Utang Negara dipandang yang paling menarik untuk tahun ini dan tahun depan. Berkaca pada kinerja industri reksadana awal 2021 maka terlihat preferensi investor melakukan penempatan dana baru lebih banyak ke jenis reksadana pasar uang, berbasis indeks dan ETF. Manajer investasi tentunya diharapkan dapat mengakomodasikan tren ini. Target return untuk reksadana berbasis obligasi sendiri masih diharapkan sekitar 7%, untuk berbasis saham 10% dan untuk pasar uang menjadi 3.75%

Namun demikian diversifikasi tetap penting karena tidak mungkin investor dapat menebak secara pasti reksadana jenis apa yang akan bersinar, maka tidak ada salahnya untuk meminimalkan risiko dengan menyebarkan dana pada jenis reksadana yang berbeda dengan tetap disesuaikan dengan tujuan finansial masing-masing. Alokasi yang didarankan untuk Semester pertama 2021 adalah 50% pada reksadana berbasis Obligasi, 30 % pada saham dan 20% pada pasar uang