Reksadana berbasis obligasi yang terdiri dari reksadana pendapatan dan terproteksi mengkontribusikan lebih dari 50% dari total jumlah dana kelolaan reksadana yang per akhir Agustus 2020 mencapai Rp 509 triiun. Hingga tahun ini reksadana menikmati insentif berupa pengenaan pajak atas kupon dan diskonto obligasi senilai 5% dari yang normalnya 15%. Adapun berdasarkan PP No.55 Tahun 2019 Pajak ini akan naik dua kali lipat menjadi 10% mulai tahun 2021 dan seterusnya. Kenaikan pajak reksadana dikhawatirkan akan menghambat perkembangan pertumbuhan jumlah dana kelolaan reksadana terutama disaat pandemi Covid -19. Bagaimana sebaiknya investor menanggapi peraturan ini?

Yang dimaksud dengan fasilitas insentif pajak pada reksadana adalah investasi reksadana memiliki keringanan dari kewajiban pembayaran pajak atas kupon dan keuntungan dari selisih harga obligasi. Jadi, jika investor membeli obligasi langsung, maka atas kupon dan atau keuntungan selisih harga obligasi yang diterima investor akan dikenakan pajak final sebesar 15%. Sementara jika investasi obligasi tersebut dilakukan melalui reksadana, maka kewajiban tersebut dikurangi hanya 5% hingga 2020 dan menjadi 10% mulai tahun 2021.

Sejarahnya reksadana sempat memiliki insentif berupa bebas pajak untuk instrumen obligasi. Hal inilah yang menjadi salah satu daya tarik reksadana terproteksi dan pendapatan tetap selama ini. Selain itu, perkembangan reksadana terproteksi ini juga didorong oleh pemasaran melalui bank yang memiliki jaringan yang luas serta karakteristik reksadana terproteksi sendiri yang menyerupai deposito sehingga diminati oleh investor perbankan yang terbiasa dengan produk deposito.

Fasilitas bebas pajak ini akhirnya direvisi dengan PP No. 16 Tahun 2009 yang kala itu mengenakan pajak 5% atas kupon dan diskonto obligasi untuk reksadana. Seiring dengan perkembangan industri reksadana yang dirasa masih membutuhkan insentif maka pajak sebesar 5% itu terus diperpanjang hingga tahun 2020 ini. Pada tahun 2019 mengingat dana kelolaan reksadana sudah menembus Rp 500 Triliun maka insentif pajak ini dikurangi di tahun 2021. Adapun pada saat PP no 55 tahun 2019 diterbitkan di bulan Agustus 2019 dana kelolaan reksadana mencapai Rp 526 triliun, saat pandemi menyerang dana kelolaan sempat terkoreksi 12% hingga menyentuh Rp 461 Triliun di Maret 2020 sebelum akhirnya rebound kembali ke Rp 509 triliun di Agustus 2020.

Ditengah tekanan pada industri reksadana kenaikan pajak tentu saja akan berpengaruh pada menurunnya kinerja reksadana, sebagai ilustrasi pada obligasi yang memberikan kupon 7% pertahun, bila dipegang oleh investor langsung maka imbal hasil bersih yang didapat adalah 5.95% setelah pajak, untuk reksadana imbal hasil yang didapat adalah 6.65%. Di tahun 2021 imbal hasil ini akan turun menjadi 6.3%.

Dengan menurunnya imbal hasil reksadana tentu saja daya jualnya akan menurun, hal ini berpengaruh ke baik dari sisi penjual seperti manajer investasi, bank kustodian dan agen penjual serta dari sisi investor juga akan kehilangan potensi pendapatan, terutama untuk industri asuransi yang selama ini cukup besar berinvestasi di reksadana. Dimasa resesi dan juga pandemi yang diperkirakan masih berlanjut hingga tahun 2022 penurunan pendapatan ini akan semakin mempersulit bagi pelaku industri untuk bertahan maupun bangkit. Ada baiknya bagi pemangku kepentingan untuk mempertimbangkan kembali kenaikan pajak ini, justru saat ini pemerintah harus memberikan insentif bagi industri reksadana misalnya dengan mengembalikan pajak 0% hingga tahun 2022 agar investor lebih tertarik berinvestasi

pada obligasi melalui reksadana. Hal ini akan membantu penyerapan bagi penerbitan obligasi negara maupun obligasi korporasi. Imbal hasil yang lebih baik juga membantu investor dimasa pandemi ini.

Pun demikian sejatinya seandainya peraturan yang ada tetap dijalankan industri reksadana berbasis obligasi tetap menguntungkan bagi investor dibanding membeli sendiri karena beberapa alasan :

Pertama, Akses terhadap instrumen obligasi bukanlah instrumen yang mudah diperoleh baik dipasar primer (melalui proses IPO) ataupun di pasar sekunder (melalui broker atau bank) karena terbatasnya nominal yang ditawarkan. Dengan adanya reksadana, investasi bisa dilakukan kapanpun dengan nomimal yang kecil kecuali pada reksadana terproteksi. Manajer Investasi tentu memiliki akses dan informasi yang jauh lebih baik dibandingkan investor pada umumnya dan bisa mendapatkan harga yang lebih kompetitif.

Kedua, Besaran Kupon obligasi pada umumnya lebih besar dibandingkan deposito karena memiliki risiko gagal bayar dan jangka waktu jatuh tempo yang lebih panjang. Jadi meskipun dikenakan pajak, tingkat imbal hasil yang diterima oleh investor obligasi (melalui reksadana) masih lebih besar dibandingkan deposito.

Ketiga, Besaran Pajak untuk obligasi lebih kecil dibandingkan dengan deposito. Jadi jika deposito dikenakan pajak sebesar 20% atas kupon yang diterima, maka besaran pajak atas kupon dan capital gain obligasi adalah sebesar 10%. Dengan kupon yang lebih besar serta besaran pajak yang lebih kecil, tentu investasi obligasi melalui reksadana masih tetap menarik.

Keempat, Strategi Investasi Aktif yang dijalankan oleh Manajer Investasi. Dalam mengelola reksadana berbasis obligasi, Manajer Investasi tidak hanya melakukan strategi buy and hold dengan memanfaatkan kupon obligasi tapi juga memperjualbelikan obligasi yang menjadi portofolio reksadana untuk memaksimalkan tingkat return.

Melihat penerapan pajak yang baru efektif pada tahun 2021, walaupun nanti potensi pendapatan reksadana akan turun, investasi di reksadana berbasis obligasi tetap memiliki nilai plus yang bisa dimanfaatkan oleh investor dan memiliki daya tarik daya tarik mengingat akses investor terhadap obligasi juga sangat terbatas.

Happy investing!